Perlawanan Rakyat Aceh Dari Kolonial Belanda


Sejak kaum kolonial menginjakkan kakinya di nusantara ini, banyak sudah timbul perang akibat ketidaksukaan rakyat setempat kepada para Kolonialis. Salah satu perang yang terjadi di nusantara dan merupakan perang yang paling sengit dalam mempertahankan daerah adalah perang Aceh. Perang ini adalah manifestasi dari ketidaksukaan rakyat Aceh pada pada Belanda, yang menjadi kaum kolonial saat itu. Ketika Belanda dan Inggris sepakat membawa masalah Aceh ke meja perundingan, dengan hasil perjanjian yang dikenal dengan Traktat London. Sejak saat itulah Belanda punya kekuasaan di Aceh, namun ia kurang leluasa karena salah satu isi dari Traktat London menyebutkan agar Belanda menghormati kedaulatan kerajaan Aceh. Maka untuk lebih leluasa lagi dalam menjalankan praktek kolonialnya Belanda mengajak Inggris ke meja perundingan sekali lagi. Ternyata usaha Belanda itu berhasil, kemudian hasil perundingan adalah Traktat Sumatra.

Dalam perjanjian itu Belanda diperbolehkan meluaskan kekuasaan di Aceh. Maka sejak saat itulah Belanda terus gencar memperluas daerah kekuasaannya. Hal ini telah disadari oleh kerajaan Aceh, bahwa dengan ditandatanganinya Traktat Sumatra akan mengancam kedudukan kerajaan Aceh. Maka untuk itu Aceh berusaha memperkuat dirinya dengan meminta bala bantuan dari Negara-negara lain. Dalam bulan Januari 1873 Sultan Aceh telah mengirimkan seorang utusan, Habib Abdurrahman, ke Turki untuk meminta bantuan apabila Belanda menggunakan kekerasan dan berusaha menundukkan Aceh.[1] Aceh meminta bantuan kepada Amerika Serikat dan Italia ketika konsul-konsul itu tiba di Singapura dengan kapal-kapalnya.

Belanda mengetahui bahwa tindakan aceh ini sangat membayakan kedudukanya, Belanda merasa takut jika persekutuan itu akan menjadi pengahalang bagi dirinya untuk menaklukan Aceh. Untuk mengatasi hal tersebut, Belanda segera mengirim utusannya yang bernama F.N. Niuwenhuysen menghadap Sultan Aceh. Utusan ini membawa surat yang intinya meminta agar Sultan menuruti yang menjadi kehendak Belanda. Namun ternyata Sultan tidak mengindahkan utusan serta dari pihak Belanda tersebut, akibatnya Belanda memutruskan perang dengan kerajaan Aceh. Belanda mengirimkan Mayor Jenderal J.H.R. Kohler dengan membawa pasukan sebesar 168 orang perwira dan 3198 serdadu, di samping itu juga pasukan angkatan laut.[2] Ketika mendengar bahwa Belanda akan melakukan serangan atas Aceh, maka Sultan menyiapkan pasukan-pasukannya di pantai-pantai Aceh untuk melawan pasukan Belanda yang akan tiba. Bagimanapun juga Aceh harus bergantung pada dirinya sendiri setelah usahanya untuk meminta bantuan gagal. Aceh tidak mendapat bantuan apa pun selain sentimen-sentimen yang penuh ketulusan dari orang-orang Turki (yang bagaimana pun juga tidak berdaya memberikan bantuan), penolakan mentah-mentah oleh pihak Inggris, dorongan dari konsul Amerika namun penolakan oleh Washington, dan sama sekali tidak ada tanggapan dari pihak Prancis.[3] Pada tanggal 5 april 1873, pasukan Belanda telah mendarat di pantai Aceh, dengan itu maka tak terelakan lagi terjadinya pertempuran antara kedua pasukan tersebut. Dengan senjata yang lebih canggih Belanda berhasil memukul mundur pasukan Aceh hingga sampai pada mesjid Raya. Belanda berhasil menduduki benteng-benteng yang ada di dekat pantai Aceh, dan untuk selanjutnya digunakan sebagai tempat pasukan militer Belanda.

Sebenarnya yang menjadai target utama dari penyerangan pasukan Belanda adalah Mesjid Raya, tetapi pasukan Aceh sangat gigih mempertahankannya. Pasukan Belanda akhirnya mengepung daerah di sekitar Mesjid Raya tersebut, tapi mereka mengalami kesulitan untuk masuk lebih jauh. Karena pertahan lascar Mesjid kuat, panglima Belanda Kohler memerintahkan untuk menembakkan peluru api ke arah Mesjid.[4] Akibat serangan yang dilancarkan pasukan Belanda itu Masjid menjadi terbakar sehingga membuat pasukan Aceh menarik dari kawasan Mesjid. Pada tanggal 14 April 1873 pasukan Belanda telah merebut dan menduduki areal Mesjid raya. Waktu Kohler kemudian memeriksa situasi mesjid yang telah direbutnya, sekonyong-konyong ia ditembak oleh seorang prajurit Aceh, sehingga ia tewas.[5] Ketika Aceh telah kehilangan Mesjid Raya untuk dipertahankan, maka Sultan mengumpulkan sebagian kekuatan di sekitar Istana, sedang yang lain difungsikan untuk menyerang daerah yang telah direbut oleh Belanda. Belanda berusaha untuk mendekati daerah istana dengan megadakan penyerangan ke daerah istana Aceh, usaha ini akhirnya dapat diatasi oleh tentara Aceh pada tanggal 16 April 1873 dan kemudian terjadilah pertempuran yang sengit antara keduanya, dikarenakan tidak berhasil juga mendekati daerah istana Belanda dengan terpaksa mundur lagi ke masjid.

Dalam pertempuran ini Belanda mendapat kerugian atas gigihnya perlawanan tentara Aceh, diantaranya sembilan perwira dan seratus enam belas serdadu Belanda tewas dalam pertempuran tersebut. Usaha Belanda tersebut untuk mengatasi perlawanan dari tentara Aceh berkali-kali kandas dan berkali-kali menemui jalan buntu. Dikarenakan usahanya selalu menemui jalan buntu Belanda yang juga atas persetujuan dari Pemerintah Belanda akhirnya meninggalkan pantai Aceh pada tanggal 29 April 1873. Perlawanan rakyat Aceh dalam melawan kolonialisme Belanda tidak dapat dipandang remeh oleh Pemerintah Belanda, apalagi dengan kematian dari salah seorang Jenderal Belanda yaitu Jenderal Kohler merupakan suatu bukti nyata yang dapat menjadikan pemikiran bagi Pemerintah Belanda bahwa perlawanan dari masyarakat Aceh tidak dapat dianggap ringan.

Dengan kegagalan serangan yang pertama ke Aceh, tidak membuat Belanda patah arang untuk menduduki istana Aceh. Belanda mencoba dengan mengirimkan pasukannya lagi untuk menyerang Aceh, kali ini berbeda dengan serangan yang pertama akan Aceh, Belanda mengirimkan lebih banyak tentara untuk serangan kali ini. Pada tanggal 6 November 1873, Jenderal J. Van Swieten diangkat menjadi pimpinan pasukan expedisi kedua yang akan membawa pasukan yang lebih besar berkekuatan sekitar 8000 orang.[6] Selama mengadakan persiapan untuk keperluan ini Belanda mengadakan Blokade terhadap pantai Aceh dengan menggunakan angkatan lautnya untuk menghalangi kerajaan Aceh berhubungan dengan dunia luar. Pada tanggal 9 Desenber 1873 pasukan Belanda tersebut telah mendarat di Aceh, tepatnya di daerah Kuala Lue. Kedatangan pasukan tersebut disambut dengan tembakan senapan-senapan dari para pejuang Aceh. Para pejuang Aceh tahu akan tujuan dari datangnya pasukan Belanda tersebut yaitu akan merebut istana, maka mereka segera memperkuat pertahanan istana. Berbagai bantuan datang dari berbagai daerah di Aceh untuk memperkuat barisan pertahanan di istana Aceh.

Pertarungan yang tak kalah sengitnya juga terjadi di daerah masjid raya, karena Belanda juga berusaha menduduki daerah mesjid raya tetapi pasukan lebih dipusatkan di daerah istana. Usaha rakyat Aceh untuk memepertahankan istana dari genggaman Belanda akhirnya mengalami kekalahan juga, istana akhirnya istana diduduki oleh Belanda pada tanggal 24 Januari 1874 tetapi Sultan dan juga seluruh orang-orang istana telah mengosongkan istana pada tanggal 15 Januari 1874 dan menyingkir ke Luengbata. Akhirnya daerah tersebut dijadikan kedudukan yang baru oleh sultan, usaha dari Jenderal Van Swieten untuk menangkap sultan selalu gagal dikarenakan sultan dan para panglimanya terus bertekad untuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda walaupun istana telah diduduki oleh Belanda. Suatu keadaan yang tidak disangka telah terjadi, yaitu sultan telah terserang wabah kolera sehingga meninggal pada tanggal 28 Januari 1874.[7]

Sumber :
http://f3rz.wordpress.com/2011/05/26/perlawanan-rakyat-aceh/

No comments:

Post a Comment